Eksposdemokrasi.id,Luwu Timur-Pagi ini pukul tujuh lebih dua puluh menit ,saya keluar dari rumah jabatan Camat. Matahari belum tinggi. Embun masih setia menempel di rumput rumput yang tumbuh liar tapi rapi di Lapangan Batara Guru, Tomoni Timur. Sebuah lapangan tua yang terus hidup. Di situlah saya berhenti sejenak. Saya keluarkan ponsel, ambil satu jepretan. Ada sesuatu yang membuat saya ingin mengabadikannya.
Anak anak berlari di sana. Sebagian berseragam olahraga, sebagian lagi mungkin hanya ikut ikutan. Tidak ada garis tegas antara tim merah dan tim biru. Tapi tak penting siapa lawan siapa. Mereka hanya ingin bermain. Mungkin pagi itu mereka cuma ingin jadi anak anak.
Saya perhatikan lebih saksama. Beberapa guru berdiri di pinggir lapangan. Memandu. Mengawasi. Mungkin juga memberi semangat. Tapi di kepala saya, yang muncul justru satu kata : PERLINDUNGAN
Hari hari ini kami sedang keliling desa bersama teman teman dari OPD terkait didampingi Lembaga Save The Children serta SCF. Membentuk Lembaga Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat atau PATBM di seluruh desa di Kecamatan Tomoni Timur. Sudah empat desa. Hari ini dua lagi. Sisanya masih menunggu giliran. Totalnya delapan desa.
Bagi orang yang hanya melihatnya sebagai program, mungkin itu hanya sekadar kegiatan rutin pemerintah. Tapi pagi ini saya lihat bentuk nyatanya. Di lapangan itu. Anak anak yang bisa bermain bebas, tanpa takut dikekang, tanpa trauma. Yang bisa berteriak, tertawa, dan jatuh tanpa rasa cemas akan dimarahi atau dilukai.
"PATBM bukan cuma soal papan nama, bukan hanya soal struktur lembaga. Ia adalah bentuk nyata dari komitmen kita bahwa anak anak harus dilindungi oleh siapa pun, di mana pun, setiap waktu. Termasuk oleh orang orang terdekatnya",Kata Yulius.
"Saya pernah dengar satu kalimat yang membekas bahwa kekerasan terhadap anak paling sering terjadi di rumah sendiri. Dan itu yang paling menyakitkan. Karena luka dari orang luar bisa sembuh. Tapi jika pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi, bagaimana anak itu percaya lagi pada dunia ?", tanya Yulius yang tidak butuhkah jawaban.
Lapangan Batara Guru pagi itu seperti metafora. Ia luas, terbuka, dan menjadi ruang aman bagi siapa saja yang ingin datang dan bermain. Seperti itulah semestinya dunia anak anak. Dan tugas kita adalah memastikan dunia itu tetap ada bukan hanya di lapangan, tapi juga di rumah, sekolah, dan jalanan.
Saya simpan ponsel. Berjalan ke arah kantor. Tapi gambar anak anak di lapangan itu tidak ikut saya tinggalkan. Ia tertinggal di kepala. Sebagai pengingat bahwa tugas kita belum selesai. Bahwa PATBM bukan akhir, tapi permulaan dari sebuah janji untuk menjaga masa depan, yang hari ini masih bermain di rumput hijau.
Dan pagi ini, Tomoni Timur kembali menguatkan langkah itu. Satu desa, satu lembaga, satu harapan. Demi anak anak yang tak tahu apa apa, tapi terlalu sering menjadi korban segalanya. (#)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar